Tetes-tetes
air dari langit masih berjatuhan di kota Jombang. Nampaknya hujan masih enggan
meninggalkan kota kecil itu. Di luar, tawa riang bocah-bocah kecil semakin
menyemarakkan awal musim hujan tahun ini. Mereka menari kesana kemari, girang
tak alang kepalang. Yang mereka tahu, ini adalah awal dari pesta tahunan
mereka.
Seorang
gadis berwajah anggun hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Ia tersenyum
getir. Wajah cantiknya tak dapat menutupi kesedihannya. Untuk kesekian kalinya,
cairan hangat menuruni pipi manisnya. Memorinya kembali berputar. Mendorongnya
dalam masa lalu yang kelam, yang hingga kini masih menyisakan kepedihan
tersendiri untuknya.
Sekitar
sepuluh tahun yang lalu Shafa kecil yang usianya kurang lebih baru 8 tahun,
harus menelan kenyataan yang pahit. Sebuah kecelakaan telah memisahkannya
dengan orang yang paling di cintainya. Seperti biasa Ia dan ayahnya melakukan
ritual tahunan, menikmati awal musim hujan dengan bermain obak delik di
lapangan sebelah rumahnya. Kali itu ia yang jaga, ia berusaha menemukan sang
ayah yang sedang bersembunyi, ia berjalan sampai kepinggir jalan raya, ia tak
sadar bahaya mengintainya. Sebuah truk barang melintas dengan kecepatan tinggi
di belakangnya. ayahnya yang mengetahui hal itu segera meninggalkan tempat
persembunyiannya. Sang ayah berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwa
putri semata wayangnya itu. Ya... Shafa
memang selamat, namun naasnya sang ayah sendiri yang menjadi korban kecelakaan.
Ayah yang hari itu telah menjadi pahlawan bagi putrinya sendiri harus merelakan
nyawanya. Ia meninggal seketika itu juga. Isi kepalanya pecah berantakan. Shafa
yang melihat semua itu hanya bisa menjerit ketakutan. Ia menjerit
sejadi-jadinya, menghampiri tubuh ayahnya yang telah tak bernyawa. Shafa
menangis di atas dada sang ayah. Memeluknya erat dan berharap sebuah keajaiban
akan datang dan menghidupkan kembali sang ayah. Ia masih saja menunggu ayahnya
terbangun meskipun telah banyak warga sekitar yang membujuknya. Ia tak peduli
dengan kerumunan orang yang semakin banyak saja. Tubuh mungilnya semakin
melekat erat di dada ayahnya. Tangisnya pilu, memecah keheningan malam.
Daaaan... akhirnya semua terasa gelap seketika.
-------------------------------------------------------
Sejak
peristiwa itu, ia tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri. Ia merasa
menjadi anak paling berdosa.
“hemmmhh....
andai saja dulu aku tak mengajak ayah untuk menikmati awal musim hujan, pasti
ayah masih di sampingku, pasti aku tak akan menghadapi masalah serumit ini”
gumamnya dalam hati.
Keadaan ekonomi keluarga gadis berjilbab ini
juga semakin minim , karena ibunya hanya dapat berjualan gorengan , Shafa
membantu menjualkan hasil olahan ibunya itu ke tempat ia bersekolah, tanpa malu
ia menjajakan barang dagangannya kepada teman-temannya.
Hari yang
di lewatinya begitu-begitu saja. Selalu monoton. Setiap pagi bangun , shalat
subuh , membantu ibunya menyiapkan dagangan, berangkat sekolah, dan kadang
kalau dagangannya tak laku dijual di sekolah ia terpaksa harus pulang sore demi
menghidupi keluarganya. Hidupnya semakin terasa membosankan. Hingga pada suatu
pagi, seorang debt collector suruhan pak Darmaji datang. Shafa yang saat itu
tengah menuntut ilmu , tak tahu apa-apa mengenai hal itu. Sebenarnya ibu Aminah
ibu dari Shafa terpaksa berhutang kepada pak Darmaji untuk menutupi kekurangan
dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Uang yang dihasilkan dari penjualan
gorengan hanya cukup untuk makan setiap hari. Sementara untuk membayar
kebutuhan sekolah Shafa, Ibu Aminah terpaksa berhutang. Ia tak ingin putrinya
itu putus sekolah. Ia tak ingin Shafa menjadi orang bodoh seperti dirinya. Ibu
Aminah berusaha menutupi hutangnya dengan bekerja keras menjadi seorang buruh
cuci para tetangganya. Namun apa daya, ia tetap tak mampu melunasi
hutang-hutangnya kepada pak Darmaji. Kian hari bunganya kian menumpuk seperti
tumpukan pakaian tetangganya yang harus ia cuci. Sampai akhirnya, pak Darmaji memberikan
solusi kepada ibu Aminah. Pak Darmaji menyarankan untuk menikahkan Shafa dengan
Firman putra bungsu pak Darmaji. Dengan begitu, hutang ibu Aminah akan
dinyatakan lunas. Namun bagaimanapun juga, hati seorang ibu tak akan rela
melihat putri tercintanya menikah dengan seorang pemuda yang tak baik budi
pekertinya. Namun ia harus benar-benar mempertimbangkannya , karena jika ia tak
dapat melunasi hutangnya, rumah peninggalan almarhum suaminya akan disita.
Dengan
berat hati, ibu Aminah menceritakan hal itu pada Shafa. Shafa mendengarkan
cerita ibunya dengan hati teriris, air matanya mulai meleleh di pipinya. Ia
sendiri bingung harus bagaimana. Sebenarnya ia sama sekali tak ingin menikah dengan lelaki hidung belang
seperti Firman. Siapa yang tak tahu Firman , preman kampung yang kerap membuat
keonaran didesa tempat ia tinggal. Hati kecilnya berontak. Menjerit pilu.
Seakan tertusuk jarum yang tajam. Pedih rasanya mengetahui semua itu. Ia ingin
berlari dan berteriak sekencang-kencangnya. Ia ingin sekali menolak lamaran
Firman. Harga dirinya seakan terjual jika ia terima lamaran pemuda brengsek
itu. Bagaimana tidak, ia merasa tergadaikan dengan hutang-hutang keluarganya
yang menumpuk. Namun jika ia tidak mau dinikahkan dengan Firman, maka ia akan
kehilangan tempat tinggal. Dan untuk kedua kalinya ia akan merasa menjadi anak
yang durhaka karena tidak mematuhi perintah orang tua.
Shafa tak
langsung menjawab pertanyaan ibunya, ia malah membalikkan tubuh semampainya.
Berlari ke kamarnya dengan hati yang hancur. Mengunci pintunya rapat-rapat. Ia
masih belum bisa menerima semua itu. Mata sipitnya terus saja mengeluarkan
cairan bening. Seakan-akan, ia ingin mengeluarkan semua cairan bening itu dari
dalam matanya. Agar tak ada kepedihan lagi yang dapat ia rasakan. Ia sudah
cukup menderita selama ini.
“Oh
tuhaaannn... tak adakah belas kasihan-Mu untukku?”
“tak
cukupkah, derita yang kualami ini? . Tak cukup pulakah setiap sujudku selama
ini? . Bukankah Engkau telah berjanji bahwa Engkau tak akan memberikan ujian
yang hamba-Nya tak kuat untuk menanggungnya.”
Orang
bilang, kalau gelap telah mencapai puncaknya niscaya fajar akan segera tiba.
Apa yang ia rasakan ini adalah puncak dari kegelapan? Atau ini baru senja yang
masih sangat lama untuk menanti sang fajar. Ia tak tahu.
2 hari
setelah ibunya menyampaikan pesan pak Darmaji. Shafa masih belum juga mau
keluar dari kamarnya. Ibu Aminah telah berulang kali meminta Shafa keluar dari
kamarnya. Bahkan Ibu Aminah telah berjanji untuk menolak lamaran Firman. Ibu
Aminah tak sampai hati melihat putrinya
tak bahagia dengan pernikahannya . Namun Shafa belum juga mau keluar dari
kamarnya.
Ibu
Aminah teringat pada Yishaq Khaelany, sahabat karib Shafa Althafunnisa dari
kecil. Ibu Aminah segera menemui Yishaq. Ia menceritakan semua yang terjadi
pada keluarganya. Hati Yishaq hancur lebur demi mendengar penuturan dari Ibu
Aminah. Ia memang merasa kasihan melihat keluarga sahabat dekatnya itu, namun
yang lebih membuat hatinya hancur adalah mengetahui bahwa Shafa akan menikah
dengan orang lain. Sebenarnya, Yishaq telah lama memendam cintanya untuk Shafa,
ia tak berani mengungkapkan cintanya kepada Shafa. Yishaq takut akan merusak
persahabatannya dengan Shafa.
Setelah
dirasa cukup jelas duduk perkaranya. Yishaq dan Ibu Aminah membujuk Shafa agar
mau keluar dari kamarnya. Yishaq berjanji kepada Shafa bahwa ia akan membantu
menyelesaikan masalahya. Akhirnya setelah cukup lama Yishaq berbicara. Shafa
bersedia keluar dari kamarnya. Ibu Aminah merasa lega. Diam-diam Ibu Aminah
menaruh simpati pada pemuda itu. Karena, setiap kali putrinya ngambek hanya dia
obat paling mujarab untuk mengobati hati putrinya.
“Fha, aku
ini kan sahabatmu. Aku tak akan membiarkanmu menanggung beban yang begitu
berat. Berbagilah denganku. Oh ya.. aku masih
punya tabungan sekitar 20 juta. Kamu pakai saja dulu. Aku belum
membutuhkannya”. Kata Yishaq dengan tersenyum manis kepada Shafa.
Shafa
menunduk, ia malu pada Yishaq karena selalu merepotkannya. Iapun angkat bicara.
“
Entahlah Shaq, aku malu. Aku selalu saja merepotkanmu”
“
Sudahlah Fha, tak perlu kamu merasa sungkan”
Hari itu
juga, mereka pergi kerumah pak Darmaji. Melunasi semua hutang-hutangnya.
Malam
harinya , Yishaq mengajak Shafa jalan-jalan. Ia ingin menghibur Shafa.
Shafa
memulai pembicaraan. Ia ingin tahu , kenapa Yishaq sampai merelakan tabungannya
demi menyelamatkannya dari lelaki biadab seperti Firman.
“Shaq,
aku merasa sangat bahagia hari ini. Semua bebanku terasa hilang dari pundakku.
Terimakasih ya, kamu udah mau membantuku, aku tak tahu harus bagaimana untuk
membalasnya. Tapi, yang aku tak mengerti kenapa kamu mau merelakan uang
tabunganmu untuk melunasi hutang keluargaku?”
tanya Shafa dengan nada serius.
“Fha,
sebelumnya aku minta maaf jika perkataanku nanti akan menyakitimu. Sebenarnya
aku telah lama mencintaimu. Aku tak rela jika kamu menikah dengan orang yang
tidak baik. Sekarang kamu telah mengetahui perasaanku yang sesungguhnya. Untuk
selanjutnya terserah kamu.” kata Yishaq dengan menunduk. Ia tak kuasa apabila
nanti melihat Shafa membencinya.
Air mata
Shafa kembali berjatuhan. Namun kali ini bukan air mata kepedihan, melainkan
air mata bahagia karena orang yang selama ini dicintainya, juga mempunyai
perasaan yang sama. Sejenak ia merasakn betapa indah sebenarnya kasih
Tuhan-Nya.
“aku
bahagia Shaq mendengar penuturanmu, sangaaaaaaaaat bahagia. Aku tak tahu harus
mengatakan apalagi untuk mengukapkan rasa bahagiaku ini”. Kata Shafa dengan
penuh kebahagiaan.
Suasana
malam itu berubah menjadi haru, dua anak manusia telah mengetahui perasaan
masing-masing. Hal yang tak pernah di duga oleh Yishaq bahwa Shafa juga
mencintainya.