Senin, 11 Agustus 2014

harapan harapan beku

Adakah sepenggal mimpi untukku?
Sekedar penjar dalam keluhku
Memanja pada hujan dilarut malam
Meminjam kehangatan pada doa bidadari dunia

Apa yang kuharapkan tentangmu bisikan sunyi?
Entah menyesatkanku tentang hari-hari

Apa yang kuketahui tentang esok?
Selain rahasia yang kan kudapati diranjang lelahku
Untuk menyapa fajar di kemudian waktu

Minggu, 10 Agustus 2014

HUJAN KEMARIN SORE



        Tetes-tetes air dari langit masih berjatuhan di kota Jombang. Nampaknya hujan masih enggan meninggalkan kota kecil itu. Di luar, tawa riang bocah-bocah kecil semakin menyemarakkan awal musim hujan tahun ini. Mereka menari kesana kemari, girang tak alang kepalang. Yang mereka tahu, ini adalah awal dari pesta tahunan mereka.

        Seorang gadis berwajah anggun hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Ia tersenyum getir. Wajah cantiknya tak dapat menutupi kesedihannya. Untuk kesekian kalinya, cairan hangat menuruni pipi manisnya. Memorinya kembali berputar. Mendorongnya dalam masa lalu yang kelam, yang hingga kini masih menyisakan kepedihan tersendiri untuknya.

        Sekitar sepuluh tahun yang lalu Shafa kecil yang usianya kurang lebih baru 8 tahun, harus menelan kenyataan yang pahit. Sebuah kecelakaan telah memisahkannya dengan orang yang paling di cintainya. Seperti biasa Ia dan ayahnya melakukan ritual tahunan, menikmati awal musim hujan dengan bermain obak delik di lapangan sebelah rumahnya. Kali itu ia yang jaga, ia berusaha menemukan sang ayah yang sedang bersembunyi, ia berjalan sampai kepinggir jalan raya, ia tak sadar bahaya mengintainya. Sebuah truk barang melintas dengan kecepatan tinggi di belakangnya. ayahnya yang mengetahui hal itu segera meninggalkan tempat persembunyiannya. Sang ayah berlari sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwa putri semata wayangnya itu. Ya...  Shafa memang selamat, namun naasnya sang ayah sendiri yang menjadi korban kecelakaan. Ayah yang hari itu telah menjadi pahlawan bagi putrinya sendiri harus merelakan nyawanya. Ia meninggal seketika itu juga. Isi kepalanya pecah berantakan. Shafa yang melihat semua itu hanya bisa menjerit ketakutan. Ia menjerit sejadi-jadinya, menghampiri tubuh ayahnya yang telah tak bernyawa. Shafa menangis di atas dada sang ayah. Memeluknya erat dan berharap sebuah keajaiban akan datang dan menghidupkan kembali sang ayah. Ia masih saja menunggu ayahnya terbangun meskipun telah banyak warga sekitar yang membujuknya. Ia tak peduli dengan kerumunan orang yang semakin banyak saja. Tubuh mungilnya semakin melekat erat di dada ayahnya. Tangisnya pilu, memecah keheningan malam.
Daaaan... akhirnya semua terasa gelap seketika.

-------------------------------------------------------

        Sejak peristiwa itu, ia tak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri. Ia merasa menjadi anak paling berdosa.
       
        “hemmmhh.... andai saja dulu aku tak mengajak ayah untuk menikmati awal musim hujan, pasti ayah masih di sampingku, pasti aku tak akan menghadapi masalah serumit ini” gumamnya dalam hati.

         Keadaan ekonomi keluarga gadis berjilbab ini juga semakin minim , karena ibunya hanya dapat berjualan gorengan , Shafa membantu menjualkan hasil olahan ibunya itu ke tempat ia bersekolah, tanpa malu ia menjajakan barang dagangannya kepada teman-temannya.

        Hari yang di lewatinya begitu-begitu saja. Selalu monoton. Setiap pagi bangun , shalat subuh , membantu ibunya menyiapkan dagangan, berangkat sekolah, dan kadang kalau dagangannya tak laku dijual di sekolah ia terpaksa harus pulang sore demi menghidupi keluarganya. Hidupnya semakin terasa membosankan. Hingga pada suatu pagi, seorang debt collector suruhan pak Darmaji datang. Shafa yang saat itu tengah menuntut ilmu , tak tahu apa-apa mengenai hal itu. Sebenarnya ibu Aminah ibu dari Shafa terpaksa berhutang kepada pak Darmaji untuk menutupi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Uang yang dihasilkan dari penjualan gorengan hanya cukup untuk makan setiap hari. Sementara untuk membayar kebutuhan sekolah Shafa, Ibu Aminah terpaksa berhutang. Ia tak ingin putrinya itu putus sekolah. Ia tak ingin Shafa menjadi orang bodoh seperti dirinya. Ibu Aminah berusaha menutupi hutangnya dengan bekerja keras menjadi seorang buruh cuci para tetangganya. Namun apa daya, ia tetap tak mampu melunasi hutang-hutangnya kepada pak Darmaji. Kian hari bunganya kian menumpuk seperti tumpukan pakaian tetangganya yang harus ia cuci.  Sampai akhirnya, pak Darmaji memberikan solusi kepada ibu Aminah. Pak Darmaji menyarankan untuk menikahkan Shafa dengan Firman putra bungsu pak Darmaji. Dengan begitu, hutang ibu Aminah akan dinyatakan lunas. Namun bagaimanapun juga, hati seorang ibu tak akan rela melihat putri tercintanya menikah dengan seorang pemuda yang tak baik budi pekertinya. Namun ia harus benar-benar mempertimbangkannya , karena jika ia tak dapat melunasi hutangnya, rumah peninggalan almarhum suaminya akan disita.

        Dengan berat hati, ibu Aminah menceritakan hal itu pada Shafa. Shafa mendengarkan cerita ibunya dengan hati teriris, air matanya mulai meleleh di pipinya. Ia sendiri bingung harus bagaimana. Sebenarnya ia sama sekali tak  ingin menikah dengan lelaki hidung belang seperti Firman. Siapa yang tak tahu Firman , preman kampung yang kerap membuat keonaran didesa tempat ia tinggal. Hati kecilnya berontak. Menjerit pilu. Seakan tertusuk jarum yang tajam. Pedih rasanya mengetahui semua itu. Ia ingin berlari dan berteriak sekencang-kencangnya. Ia ingin sekali menolak lamaran Firman. Harga dirinya seakan terjual jika ia terima lamaran pemuda brengsek itu. Bagaimana tidak, ia merasa tergadaikan dengan hutang-hutang keluarganya yang menumpuk. Namun jika ia tidak mau dinikahkan dengan Firman, maka ia akan kehilangan tempat tinggal. Dan untuk kedua kalinya ia akan merasa menjadi anak yang durhaka karena tidak mematuhi perintah orang tua.

        Shafa tak langsung menjawab pertanyaan ibunya, ia malah membalikkan tubuh semampainya. Berlari ke kamarnya dengan hati yang hancur. Mengunci pintunya rapat-rapat. Ia masih belum bisa menerima semua itu. Mata sipitnya terus saja mengeluarkan cairan bening. Seakan-akan, ia ingin mengeluarkan semua cairan bening itu dari dalam matanya. Agar tak ada kepedihan lagi yang dapat ia rasakan. Ia sudah cukup menderita selama ini.

        “Oh tuhaaannn... tak adakah belas kasihan-Mu untukku?”
        “tak cukupkah, derita yang kualami ini? . Tak cukup pulakah setiap sujudku selama ini? . Bukankah Engkau telah berjanji bahwa Engkau tak akan memberikan ujian yang hamba-Nya tak kuat untuk menanggungnya.”

        Orang bilang, kalau gelap telah mencapai puncaknya niscaya fajar akan segera tiba. Apa yang ia rasakan ini adalah puncak dari kegelapan? Atau ini baru senja yang masih sangat lama untuk menanti sang fajar. Ia tak tahu.

        2 hari setelah ibunya menyampaikan pesan pak Darmaji. Shafa masih belum juga mau keluar dari kamarnya. Ibu Aminah telah berulang kali meminta Shafa keluar dari kamarnya. Bahkan Ibu Aminah telah berjanji untuk menolak lamaran Firman. Ibu Aminah tak sampai hati  melihat putrinya tak bahagia dengan pernikahannya . Namun Shafa belum juga mau keluar dari kamarnya.

        Ibu Aminah teringat pada Yishaq Khaelany, sahabat karib Shafa Althafunnisa dari kecil. Ibu Aminah segera menemui Yishaq. Ia menceritakan semua yang terjadi pada keluarganya. Hati Yishaq hancur lebur demi mendengar penuturan dari Ibu Aminah. Ia memang merasa kasihan melihat keluarga sahabat dekatnya itu, namun yang lebih membuat hatinya hancur adalah mengetahui bahwa Shafa akan menikah dengan orang lain. Sebenarnya, Yishaq telah lama memendam cintanya untuk Shafa, ia tak berani mengungkapkan cintanya kepada Shafa. Yishaq takut akan merusak persahabatannya dengan Shafa.

        Setelah dirasa cukup jelas duduk perkaranya. Yishaq dan Ibu Aminah membujuk Shafa agar mau keluar dari kamarnya. Yishaq berjanji kepada Shafa bahwa ia akan membantu menyelesaikan masalahya. Akhirnya setelah cukup lama Yishaq berbicara. Shafa bersedia keluar dari kamarnya. Ibu Aminah merasa lega. Diam-diam Ibu Aminah menaruh simpati pada pemuda itu. Karena, setiap kali putrinya ngambek hanya dia obat paling mujarab untuk mengobati hati putrinya.

        “Fha, aku ini kan sahabatmu. Aku tak akan membiarkanmu menanggung beban yang begitu berat. Berbagilah denganku. Oh ya.. aku masih  punya tabungan sekitar 20 juta. Kamu pakai saja dulu. Aku belum membutuhkannya”. Kata Yishaq dengan tersenyum manis kepada Shafa.

        Shafa menunduk, ia malu pada Yishaq karena selalu merepotkannya. Iapun angkat bicara.

        “ Entahlah Shaq, aku malu. Aku selalu saja merepotkanmu”
        “ Sudahlah Fha, tak perlu kamu merasa sungkan”

        Hari itu juga, mereka pergi kerumah pak Darmaji. Melunasi semua hutang-hutangnya.

        Malam harinya , Yishaq mengajak Shafa jalan-jalan. Ia ingin menghibur Shafa.

        Shafa memulai pembicaraan. Ia ingin tahu , kenapa Yishaq sampai merelakan tabungannya demi menyelamatkannya dari lelaki biadab seperti Firman.

        “Shaq, aku merasa sangat bahagia hari ini. Semua bebanku terasa hilang dari pundakku. Terimakasih ya, kamu udah mau membantuku, aku tak tahu harus bagaimana untuk membalasnya. Tapi, yang aku tak mengerti kenapa kamu mau merelakan uang tabunganmu untuk melunasi hutang keluargaku?”
tanya Shafa dengan nada serius.

        “Fha, sebelumnya aku minta maaf jika perkataanku nanti akan menyakitimu. Sebenarnya aku telah lama mencintaimu. Aku tak rela jika kamu menikah dengan orang yang tidak baik. Sekarang kamu telah mengetahui perasaanku yang sesungguhnya. Untuk selanjutnya terserah kamu.” kata Yishaq dengan menunduk. Ia tak kuasa apabila nanti melihat Shafa membencinya.

        Air mata Shafa kembali berjatuhan. Namun kali ini bukan air mata kepedihan, melainkan air mata bahagia karena orang yang selama ini dicintainya, juga mempunyai perasaan yang sama. Sejenak ia merasakn betapa indah sebenarnya kasih Tuhan-Nya.

        “aku bahagia Shaq mendengar penuturanmu, sangaaaaaaaaat bahagia. Aku tak tahu harus mengatakan apalagi untuk mengukapkan rasa bahagiaku ini”. Kata Shafa dengan penuh kebahagiaan.

        Suasana malam itu berubah menjadi haru, dua anak manusia telah mengetahui perasaan masing-masing. Hal yang tak pernah di duga oleh Yishaq bahwa Shafa juga mencintainya.

bisik dalam gelap



kala malam mengisah..
tentang kasih yang tak kunjung jumpa
tentang rindu yang menghangus jiwa
tentang rupa diujung nestapa

bukan cemburu mengharu biru
bukan amarah bergemuruh ria
hanya rindu menundukkan nafsu
hanya gemintang lupa sang surya

biar terbungkam kelam..
biar senyap menyergap diam
kan kuintip sedikit mata teduhmu
sedikiiit saja..
lewat alunan do'a dan sembah sujudku
lewat sejuknya cinta pada Rabb ku
syahdu..
rindu..
aku..

*to althafunnisa's first love

Terselip Rindu dalam Gema Takbir

     

ALLAH HU AKBAR….
ALLAH HU AKBAR….
ALLAH HU AKBAR….
LAILAHAILLALLAH HU ALLAH HU AKBAR….


K
alimat-kalimat itu terdengar riuh rendah. Syahdu. Mengggema di seluruh sudut kota Jakarta yang mewah & megah.

Ah… kota itu. Kota yang penuh kebisingan pada hari-harinya , kini menjelma sebagai sebuah kota yang indah. Kota yang menyejukkan hati oleh setiap gema takbirnya.

Tapi, pernyataan itu sangat bertentangan dengan pendapat salah satu penghuninya. Baginya, kota itu tak pernah terlihat indah, tak pernah, tak kan pernah. Jakarta tak lebih dari sebuah kota yang kejam, beringas, siap menrkam siapa saja yang tak waspada. Jakarta telah merenggut mimpinya.

      Pria berkulit hangus itu menenteng sebuah karung besar berwarna putih usang. Langkahnya gontai , keringat sebesar biji jagung menuruni dahinya yang dekil. Baju yang menempel di tubuhnya yang cokelat kehitam-hitaman itupun sudah usang dan kumal, yang dihiasi dengan tambalan di sana-sini. Menciptakan rasa iba
bagi siapa saja yang melihatnya. Sungguh pemandangan yang memuakkan . Bahkan pria berkulit hangus itu merasa muak terhadap
hidupnya sendiri.

Awalnya, ia datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki keadaan ekonominya. Ia tak pernah meminta menjadi seorang pemulung yang hina. Tapi, mungkin  takdir sial yang selalu setia mendampinginya.

Ah….. andai saja ia menuruti kata bapaknya di desa. Menjadi seorang petani , seperti bapak dan kebanyakan pemuda ddesa yang lain. Namun menurut Gino, pemuda berkulit hangus itu, mencangkul, manggarap sawah, & mempertaruhkan nasib pada cuaca adalah hal yang bodoh. Pergi ke Jakarta lebih menguntungkan, kabarnya segudang pekerjaan tersedia disana. Ia membulatkan tekad untuk meraih impiannya. Menjadi seorang pedagang besar

       Bermodalkan uang 20 juta hasil penjualan sawah milik ayahnya & beberapa tetek bengek lain yang ia bawa ke kota sial itu, ia tersenyum puas. Seolah berkata pada Jakarta

“Inilah akau Gino, calon pedagang besar di kota ini”

     Dengan segala kesombongannya ia melangkahkan kaki di kota Jakarta untuk yang pertama kalinya. Ia mengeluarkan secuil kertas yang bertuliskan alamat pamannya yang kaya raya. Dahinya mengernyit , ia nampak tak mengetahui daerah yang tertera pada secuil kertas itu. Berulang kali mulutnya komat-kamit membaca tulisan dalam kertas kecil itu.

Akhirnya ia menyerah juga, karena sejuta kalipun ia membacanya, secuil kertas itu tak kan membantunya. Diberanikannya bertanya kepada seorang pemuda yang usianya mungkin 7 tahun lebih tua dari dirinya. Perawakan pemuda itu seram, sehingga membuat Gino agak ragu-ragu untuk bertanya kepadanya. Tak disangka, pemuda berwajah seram yang mengaku dirinya bernama Rohim itu menawarkan jasanya
untuk mengantar Gino ke tempat yang ia cari. Gino girang tak alang-kapalang, layaknya bocah yang mendapatkan mainan baru.
      Ia menyetujui tawaran pemuda yang baru beberapa menit dikenalnya itu. Rohim membonceng Gino dengan sepedah macho milik Rohim. Lamaaaa….. sepedah itu melaju di atas permukaan kota Jakarta yang berdebu. Sepedah itu berhenti pada sebuah halaman rumah. Namun anehnya , rumah itu nampak tak berpenghuni. Mulai tumbuh benih-benih kecurigaan Gino.


         “ Mas, kenapa berhenti di sini?. Saya yakin betul, ini bukan rumah paman saya, paman saya itu orang kaya, ndak mungkin tinggal di tempat seperti ini”

         “alaaahhh.. sudah masuk saja, pamanmu di dalam”jawab Rohim sambil menarik lengan Gino.

Gino dan Rohim memasuki rumah tua itu.
Kreeeeeek… pintu tua itu mengeluarkan bunyi yang khas saat di buka. Gino nampak semakin heran, mana mungkin pamannya yang di bangga-banggakan itu hidup di rumah jelek seperti ini.

Dan……. Ya Tuhan….. betapa kagetnya Gino ketika yang dijumpainya dalam rumah itu bukanlah sosok paman yang dinanti, tetapi 6 orang preman bertubuh kekar yang siap menghajarnya, mereka mengelilingi Gino. Salah seorang diantara mereka memukul punggung Gino dari arah belakang. Gino pingsan. Mereka tertawa kegirangan melihat Gino tergeletak tak berdaya. Segera mereka buka tas koper yang tadi di bawa Gino. Mata keenam preman biadab & pemuda berwajah seram bernama Rohim itu berbinar hebat. Mereka melihat koper itu dipenuhi dengan lembaran uang kertas yang tersusun rapi.

Mereka pergi meninggalkan Gino yang masih tak sadarkan diri. Saat Gino sadar dari pingsannya, ia hanya bisa melongo mengingat apa yang telah terjadi, ia merasa bodoh… bodoh sekali… Dengan begitu saja ia mempercayai tawaran Rohim yang biadab itu.

Ia menangis menjerit-jerit, sehingga semua penghuni rumah disekitar rumah tua itu berlaria menghampirinya & mereka menatapnya dengan heran. Bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa Gino sudah gila.

Nafas Gino tersengal, ia terpukul hebat atas kejadian yang baru dialaminya. Kepalanya terasa pening, dan pandangannya menjadi gelap. Gelap seketika.

Sejak saat itu, impiannya hancur. Ia bukan Gino pedagang besar , melainkan Gino si pemulung sampah

    Gema takbir masih terdengar. Suaranya memenuhi telinga Gino. Ia yang tengah terbaring kelelahan diatas tumpukan sampah tersenyum getir, Matanya berkaca-kaca, siap meluncurkan cairan bening diatas pipinya yang dekil. Jiwanya tergetar hebat. Akhirnya tumpah juga cairan bening itu.

Gema takbir telah mengingatkannya pada sosok bapak nya yang sangat dicintainya . Terbayang wajah renta itu dalam isi kepalanya. Ia rindu….. rinduuuuu sekali pada wajah renta yang masih setia dengan cangkul yang selalu dipikul dipundaknya tiap pagi. Seandainya ia tak men durhakai keinginan bapaknya untuk menjadi seorang petani, mungkin ia tak kan berbaring di tempat sampah seperti ini.

Gema takbir masih terdengar, indah, syahdu, membuai Gino dalam mimpi-mimpinya. Mengantarkannya pada Bapaknya tercinta.