ALLAH HU AKBAR….
ALLAH HU AKBAR….
ALLAH HU AKBAR….
LAILAHAILLALLAH HU ALLAH HU AKBAR….
K
alimat-kalimat itu terdengar riuh rendah. Syahdu.
Mengggema di seluruh sudut kota Jakarta yang mewah & megah.
Ah… kota itu.
Kota yang penuh kebisingan pada hari-harinya , kini menjelma sebagai sebuah
kota yang indah. Kota yang menyejukkan hati oleh setiap gema takbirnya.
Tapi, pernyataan
itu sangat bertentangan dengan pendapat salah satu penghuninya. Baginya, kota itu
tak pernah terlihat indah, tak pernah, tak kan pernah. Jakarta tak lebih dari
sebuah kota yang kejam, beringas, siap menrkam siapa saja yang tak waspada.
Jakarta telah merenggut mimpinya.
Pria
berkulit hangus itu menenteng sebuah karung besar berwarna putih usang.
Langkahnya gontai , keringat sebesar biji jagung menuruni dahinya yang dekil.
Baju yang menempel di tubuhnya yang cokelat kehitam-hitaman itupun sudah usang
dan kumal, yang dihiasi dengan tambalan di sana-sini. Menciptakan rasa iba
bagi siapa saja yang melihatnya. Sungguh pemandangan
yang memuakkan . Bahkan pria berkulit hangus itu merasa muak terhadap
hidupnya sendiri.
Awalnya, ia
datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki keadaan ekonominya. Ia tak pernah
meminta menjadi seorang pemulung yang hina. Tapi, mungkin takdir sial yang selalu setia mendampinginya.
Ah….. andai saja ia menuruti kata bapaknya di desa.
Menjadi seorang petani , seperti bapak dan kebanyakan pemuda ddesa yang lain.
Namun menurut Gino, pemuda berkulit hangus itu, mencangkul, manggarap sawah,
& mempertaruhkan nasib pada cuaca adalah hal yang bodoh. Pergi ke Jakarta
lebih menguntungkan, kabarnya segudang pekerjaan tersedia disana. Ia
membulatkan tekad untuk meraih impiannya. Menjadi seorang pedagang besar
Bermodalkan uang 20 juta hasil penjualan sawah milik ayahnya &
beberapa tetek bengek lain yang ia bawa ke kota sial itu, ia tersenyum puas.
Seolah berkata pada Jakarta
“Inilah akau
Gino, calon pedagang besar di kota ini”
Dengan
segala kesombongannya ia melangkahkan kaki di kota Jakarta untuk yang pertama
kalinya. Ia mengeluarkan secuil kertas yang bertuliskan alamat pamannya yang
kaya raya. Dahinya mengernyit , ia nampak tak mengetahui daerah yang tertera
pada secuil kertas itu. Berulang kali mulutnya komat-kamit membaca tulisan
dalam kertas kecil itu.
Akhirnya ia
menyerah juga, karena sejuta kalipun ia membacanya, secuil kertas itu tak kan
membantunya. Diberanikannya bertanya kepada seorang pemuda yang usianya mungkin
7 tahun lebih tua dari dirinya. Perawakan pemuda itu seram, sehingga membuat
Gino agak ragu-ragu untuk bertanya kepadanya. Tak disangka, pemuda berwajah
seram yang mengaku dirinya bernama Rohim itu menawarkan jasanya
untuk mengantar Gino ke tempat yang ia cari. Gino
girang tak alang-kapalang, layaknya bocah yang mendapatkan mainan baru.
Ia
menyetujui tawaran pemuda yang baru beberapa menit dikenalnya itu. Rohim
membonceng Gino dengan sepedah macho milik Rohim. Lamaaaa….. sepedah itu melaju
di atas permukaan kota Jakarta yang berdebu. Sepedah itu berhenti pada sebuah
halaman rumah. Namun anehnya , rumah itu nampak tak berpenghuni. Mulai tumbuh
benih-benih kecurigaan Gino.
“ Mas, kenapa berhenti di sini?. Saya yakin betul, ini
bukan rumah paman saya, paman saya itu orang kaya, ndak mungkin tinggal di
tempat seperti ini”
“alaaahhh..
sudah masuk saja, pamanmu di dalam”jawab Rohim sambil menarik lengan Gino.
Gino dan Rohim
memasuki rumah tua itu.
Kreeeeeek… pintu
tua itu mengeluarkan bunyi yang khas saat di buka. Gino nampak semakin heran,
mana mungkin pamannya yang di bangga-banggakan itu hidup di rumah jelek seperti
ini.
Dan……. Ya
Tuhan….. betapa kagetnya Gino ketika yang dijumpainya dalam rumah itu bukanlah
sosok paman yang dinanti, tetapi 6 orang preman bertubuh kekar yang siap
menghajarnya, mereka mengelilingi Gino. Salah seorang diantara mereka memukul
punggung Gino dari arah belakang. Gino pingsan. Mereka tertawa kegirangan
melihat Gino tergeletak tak berdaya. Segera mereka buka tas koper yang tadi di
bawa Gino. Mata keenam preman biadab & pemuda berwajah seram bernama Rohim
itu berbinar hebat. Mereka melihat koper itu dipenuhi dengan lembaran uang
kertas yang tersusun rapi.
Mereka pergi
meninggalkan Gino yang masih tak sadarkan diri. Saat Gino sadar dari pingsannya, ia hanya bisa melongo mengingat apa yang telah terjadi,
ia merasa bodoh… bodoh sekali… Dengan begitu saja ia mempercayai tawaran Rohim
yang biadab itu.
Ia menangis
menjerit-jerit, sehingga semua penghuni rumah disekitar rumah tua itu berlaria
menghampirinya & mereka menatapnya dengan heran. Bahkan sebagian dari
mereka menganggap bahwa Gino sudah gila.
Nafas Gino
tersengal, ia terpukul hebat atas kejadian yang baru dialaminya. Kepalanya
terasa pening, dan pandangannya menjadi gelap. Gelap seketika.
Sejak saat itu,
impiannya hancur. Ia bukan Gino pedagang besar , melainkan Gino si pemulung
sampah
Gema takbir
masih terdengar. Suaranya memenuhi telinga Gino. Ia yang tengah terbaring
kelelahan diatas tumpukan sampah tersenyum getir, Matanya berkaca-kaca, siap
meluncurkan cairan bening diatas pipinya yang dekil. Jiwanya tergetar hebat.
Akhirnya tumpah juga cairan bening itu.
Gema takbir telah
mengingatkannya pada sosok bapak nya yang sangat dicintainya . Terbayang wajah
renta itu dalam isi kepalanya. Ia rindu….. rinduuuuu sekali pada wajah renta
yang masih setia dengan cangkul yang selalu dipikul dipundaknya tiap pagi.
Seandainya ia tak men durhakai keinginan bapaknya untuk menjadi seorang petani,
mungkin ia tak kan berbaring di tempat sampah seperti ini.
Gema takbir masih
terdengar, indah, syahdu, membuai Gino dalam mimpi-mimpinya. Mengantarkannya
pada Bapaknya tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar