Minggu, 10 Agustus 2014

Terselip Rindu dalam Gema Takbir

     

ALLAH HU AKBAR….
ALLAH HU AKBAR….
ALLAH HU AKBAR….
LAILAHAILLALLAH HU ALLAH HU AKBAR….


K
alimat-kalimat itu terdengar riuh rendah. Syahdu. Mengggema di seluruh sudut kota Jakarta yang mewah & megah.

Ah… kota itu. Kota yang penuh kebisingan pada hari-harinya , kini menjelma sebagai sebuah kota yang indah. Kota yang menyejukkan hati oleh setiap gema takbirnya.

Tapi, pernyataan itu sangat bertentangan dengan pendapat salah satu penghuninya. Baginya, kota itu tak pernah terlihat indah, tak pernah, tak kan pernah. Jakarta tak lebih dari sebuah kota yang kejam, beringas, siap menrkam siapa saja yang tak waspada. Jakarta telah merenggut mimpinya.

      Pria berkulit hangus itu menenteng sebuah karung besar berwarna putih usang. Langkahnya gontai , keringat sebesar biji jagung menuruni dahinya yang dekil. Baju yang menempel di tubuhnya yang cokelat kehitam-hitaman itupun sudah usang dan kumal, yang dihiasi dengan tambalan di sana-sini. Menciptakan rasa iba
bagi siapa saja yang melihatnya. Sungguh pemandangan yang memuakkan . Bahkan pria berkulit hangus itu merasa muak terhadap
hidupnya sendiri.

Awalnya, ia datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki keadaan ekonominya. Ia tak pernah meminta menjadi seorang pemulung yang hina. Tapi, mungkin  takdir sial yang selalu setia mendampinginya.

Ah….. andai saja ia menuruti kata bapaknya di desa. Menjadi seorang petani , seperti bapak dan kebanyakan pemuda ddesa yang lain. Namun menurut Gino, pemuda berkulit hangus itu, mencangkul, manggarap sawah, & mempertaruhkan nasib pada cuaca adalah hal yang bodoh. Pergi ke Jakarta lebih menguntungkan, kabarnya segudang pekerjaan tersedia disana. Ia membulatkan tekad untuk meraih impiannya. Menjadi seorang pedagang besar

       Bermodalkan uang 20 juta hasil penjualan sawah milik ayahnya & beberapa tetek bengek lain yang ia bawa ke kota sial itu, ia tersenyum puas. Seolah berkata pada Jakarta

“Inilah akau Gino, calon pedagang besar di kota ini”

     Dengan segala kesombongannya ia melangkahkan kaki di kota Jakarta untuk yang pertama kalinya. Ia mengeluarkan secuil kertas yang bertuliskan alamat pamannya yang kaya raya. Dahinya mengernyit , ia nampak tak mengetahui daerah yang tertera pada secuil kertas itu. Berulang kali mulutnya komat-kamit membaca tulisan dalam kertas kecil itu.

Akhirnya ia menyerah juga, karena sejuta kalipun ia membacanya, secuil kertas itu tak kan membantunya. Diberanikannya bertanya kepada seorang pemuda yang usianya mungkin 7 tahun lebih tua dari dirinya. Perawakan pemuda itu seram, sehingga membuat Gino agak ragu-ragu untuk bertanya kepadanya. Tak disangka, pemuda berwajah seram yang mengaku dirinya bernama Rohim itu menawarkan jasanya
untuk mengantar Gino ke tempat yang ia cari. Gino girang tak alang-kapalang, layaknya bocah yang mendapatkan mainan baru.
      Ia menyetujui tawaran pemuda yang baru beberapa menit dikenalnya itu. Rohim membonceng Gino dengan sepedah macho milik Rohim. Lamaaaa….. sepedah itu melaju di atas permukaan kota Jakarta yang berdebu. Sepedah itu berhenti pada sebuah halaman rumah. Namun anehnya , rumah itu nampak tak berpenghuni. Mulai tumbuh benih-benih kecurigaan Gino.


         “ Mas, kenapa berhenti di sini?. Saya yakin betul, ini bukan rumah paman saya, paman saya itu orang kaya, ndak mungkin tinggal di tempat seperti ini”

         “alaaahhh.. sudah masuk saja, pamanmu di dalam”jawab Rohim sambil menarik lengan Gino.

Gino dan Rohim memasuki rumah tua itu.
Kreeeeeek… pintu tua itu mengeluarkan bunyi yang khas saat di buka. Gino nampak semakin heran, mana mungkin pamannya yang di bangga-banggakan itu hidup di rumah jelek seperti ini.

Dan……. Ya Tuhan….. betapa kagetnya Gino ketika yang dijumpainya dalam rumah itu bukanlah sosok paman yang dinanti, tetapi 6 orang preman bertubuh kekar yang siap menghajarnya, mereka mengelilingi Gino. Salah seorang diantara mereka memukul punggung Gino dari arah belakang. Gino pingsan. Mereka tertawa kegirangan melihat Gino tergeletak tak berdaya. Segera mereka buka tas koper yang tadi di bawa Gino. Mata keenam preman biadab & pemuda berwajah seram bernama Rohim itu berbinar hebat. Mereka melihat koper itu dipenuhi dengan lembaran uang kertas yang tersusun rapi.

Mereka pergi meninggalkan Gino yang masih tak sadarkan diri. Saat Gino sadar dari pingsannya, ia hanya bisa melongo mengingat apa yang telah terjadi, ia merasa bodoh… bodoh sekali… Dengan begitu saja ia mempercayai tawaran Rohim yang biadab itu.

Ia menangis menjerit-jerit, sehingga semua penghuni rumah disekitar rumah tua itu berlaria menghampirinya & mereka menatapnya dengan heran. Bahkan sebagian dari mereka menganggap bahwa Gino sudah gila.

Nafas Gino tersengal, ia terpukul hebat atas kejadian yang baru dialaminya. Kepalanya terasa pening, dan pandangannya menjadi gelap. Gelap seketika.

Sejak saat itu, impiannya hancur. Ia bukan Gino pedagang besar , melainkan Gino si pemulung sampah

    Gema takbir masih terdengar. Suaranya memenuhi telinga Gino. Ia yang tengah terbaring kelelahan diatas tumpukan sampah tersenyum getir, Matanya berkaca-kaca, siap meluncurkan cairan bening diatas pipinya yang dekil. Jiwanya tergetar hebat. Akhirnya tumpah juga cairan bening itu.

Gema takbir telah mengingatkannya pada sosok bapak nya yang sangat dicintainya . Terbayang wajah renta itu dalam isi kepalanya. Ia rindu….. rinduuuuu sekali pada wajah renta yang masih setia dengan cangkul yang selalu dipikul dipundaknya tiap pagi. Seandainya ia tak men durhakai keinginan bapaknya untuk menjadi seorang petani, mungkin ia tak kan berbaring di tempat sampah seperti ini.

Gema takbir masih terdengar, indah, syahdu, membuai Gino dalam mimpi-mimpinya. Mengantarkannya pada Bapaknya tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar